RSS

“Seteru 1 Guru. Novel Pergulatan 3 Murid Tjokroaminoto: Soekarno-Musso-Kartosoewirjo”

BOOK REVIEW


Judul Buku: “Seteru 1 Guru. Novel Pergulatan 3 Murid Tjokroaminoto: Soekarno-Musso-Kartosoewirjo”
Pengarang: Haris Priyatna
Penerbit: Qanita, April 2015
Jumlah Halaman: 243 halaman

Terkadang, sejarah perjalanan sebuah bangsa lebih menarik jika disampaikan dalam bentuk novel. Di sinilah kepiawaian seorang penulis diuji.  Ia dituntut untuk mampu menuturkan kisah dengan jujur apa adanya, bukan sesuai pesanan penguasa.  Tokoh utama, intrik, konflik dan alur cerita yang membangun kisah harus dikemas sedemikian rupa, tanpa mengubah inti sejarah aslinya.

Haris Priyatna yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Penerbit Mizan dan Penerbit Salamadani, kolomnis dan penulis artikel di berbagai suratkabar ini, mampu menghadirkan pergulatan tiga tokoh yang pernah mewarnai sejarah Indonesia melalui sebuah narasi apik nan hidup dan menyentuh.

“SETERU 1 GURU”, novel tentang pergulatan sejarah anak bangsa, Soekarno-Musso dan Kartosoewirjo. Kisah tiga sahabat yang pada suatu masa pernah berguru pada satu  sumber yang sama, namun  harus berseberangan jalan demi pemahaman ideologi  yang berbeda, konon untuk mencapai satu tujuan  “bangsa yang merdeka”.

HOS Tjokroaminoto, sang guru bangsa dan pemilik indekos di jalan Peneleh gang  VII-Surabaya, merupakan tokoh sentral dalam pembinaan jiwa kebangsaan dan kepedulian politik tiga sahabat ini. Namun, seiring berjalannya waktu dan pendewasaan diri, masing-masing memilih jalan kehidupan yang akhirnya membuat perseteruan sengit di antara mereka dan berakhir tragis.

Novel ini terdiri dari tiga bab, yaitu: Kemelut, Internaat dan Kulminasi. Di setiap bab, berlompatan kisah dari ketiga tokoh tersebut, dihiasi benang merah dari Harun, seorang pengusaha Batik di kota Solo,  yang di akhir novel kembali hadir untuk menyimpulkan kisah ketiga kenalannya itu.    

Novel ini juga dihiasi dengan beberapa ilustrasi sebagai penguat cerita. Mulai dari foto bangunan yang pernah menjadi saksi sejarah, peta kota Soerabaja jaman dulu, peta pelarian PKI dari Madiun, lembaran koran Oetosan Hindia –corong Sarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto-, teks proklamasi NII yang ditandatangani Imam NII Kartosoewirjo, hingga foto Musso saat bersama Bung Karno, foto jenazah Musso, serta foto Kartosoewirjo saat ditangkap dan siap dieksekusi di Pulau Ubi, juga foto beberapa tokoh lain yang terlibat di dalam kisah penuh gejolak ini.
-------------------

Cerita diawali dengan kembalinya Musso ke tanah air setelah sekian tahun terusir dari Indonesia dan menghabiskan masa mudanya di Uni Soviet-Rusia, mendalami  ideologi marxisme yang didengung-dengungkan Stalin & Lenin.  Musso, sang pemimpin tertinggi Partai Komunis Indonesia, yang merupakan leburan dari beberapa partai beraliran kiri lainnya, ditengarai telah melakukan dua kali tindakan makar.

Pertama di tahun 1926, saat itu terjadi pemberontakan PKI di Batavia dan beberapa kota lain di Jawa. Musso dan Alimin-sahabatnya,  dituding sebagai dalang aksi ini, walaupun saat itu mereka masih berada di Moskow. Akibatnya, 13.000 orang ditangkap dan 1.300 aktivis PKI dibuang ke Digul.
Kedua, pada tanggal 18 September 1948 terjadinya peristiwa pembantaian oleh PKI di Madiun. Soemarsono, seorang perwira bintang dua yang dipecat oleh PM Moh Hatta dari Pendidikan Politik Tentara, memimpin tindakan makar tersebut didukung oleh Pimpinan Brigade 29 bahkan Panglima Divisi Brawijaya.

Tak perlu dipertanyakan, tentulah tindakan ini dimotori sepenuhnya oleh Musso yang kali ini berkoalisi dengan Amir Syarifuddin, sang mantan PM di awal kemerdekaan Indonesia. Hanya dalam enam jam, Madiun dan sekitarnya dikuasai penuh oleh pasukan FDR-PKI, setelah sebelumnya mendapat perlawanan sengit dari Pasukan Tengkorak Siliwangi yang akhirnya takhluk juga karena jumlah mereka lebih sedikit, dalam kondisi tidak siaga dan dikepung dari berbagai penjuru kota.

Banyak buruh, petani, pemuda dan rakyat yang tak bersalah dibantai. Kekejaman mereka terutama ditujukan kepada para pimpinan Pondok Pesantren yang berada di Madiun dan sekitarnya.  Banyak sumur tua di Magetan yang menjadi kuburan massal korban penjagalan PKI saat itu. Benar-benar tindakan biadab.

Untunglah peristiwa makar ini berhasil diatasi oleh tiga brigade pasukan Siliwangi yang bergerak cepat dan taktis. Madiun berhasil direbut kembali dan para pimpinan PKI lari tunggang-langgang menghindari penangkapan ke berbagai wilayah sekitarnya.  Pemberontakan diakhiri dengan tertembaknya Musso di daerah Ponorogo.  Saat itu, ia menyamar sebagai penduduk biasa untuk mengelabui tentara yang berjaga.

Ya, berpuluh tahun hidup di Moskow, telah merubah pribadi Musso menjadi seorang  penganut Marxisme sejati, pemimpin komunis asal Hindia Belanda yang terkemuka,  namun hidupnya berakhir miris dan  tragis. Mati tertembak plus dicap sebagai pemberontak. Sebuah pengorbanan yang terlalu besar untuk sebuah keyakinan.  

Musso, adalah kakak kelas Soekarno kala bersekolah di HBS (Hogere Burger School, sekolah lanjutan tingkat menengah, setara SMP+SMA, tetapi hanya 5 tahun), juga teman sebelah kamar kala indekos di kediaman  keluarga Tjokroaminoto. Intensitas pertemuan di sekolah dan di indekosan, mempersatukan mereka.
-------------------

Bagaimana dengan Kartosoewirjo yang bernama kecil Maridjan?  Sang calon dokter yang pernah mengecap pendidikan di NIAS (Nederlands Indische Artsen School - sekolah dokter Jawa di jaman Belanda), namun tak berhasil mendapatkan gelar kesarjanaannya ini, memilih untuk mendalami Islam sebagai ideologi kebangsaannya.  Karto, berbeda 2 tahun usianya dari Karno, namun kedekatan mereka kala indekos bersama,  bak dua sahabat yang telah saling mengenal lama.

Berbeda dengan Musso yang berbadan tegap, tinggi besar dan cocok tampil sebagai seorang jawara sejak usia muda, Kartosoewirjo, berperawakan sedang cenderung kurus namun hobi berolahraga dengan menggunakan ring  yang digantung untuk memperkuat otot-otot lengannya. Ketaatannya beribadah, diiringi dengan kecerdasan intelektual yang dimilikinya, menjadikan beliau sekretaris pribadi HOS Tjokroaminoto yang handal.

Sebagai redaktur surat kabar Fadjar Asia, corong Sarekat Islam, tulisan-tulisan Karto cenderung galak mengecam volksraad alias anggota Dewan Rakyat yang dinilai hanya hobi omong kosong belaka. Benar-benar sosok seorang jurnalis sejati. Karto juga aktivis pergerakan, bahkan merupakan salah seorang pelaku Sumpah Pemuda.

Sepeninggal Tjokroaminoto di tahun 1934, Kartosuwirjo yang sering kali menentang  berbagai hasil perjanjian pemerintah sah Republik Indonesia dengan pemerintah Hindia Belanda itu, berusaha merealisasikan cita-citanya mendirikan sebuah negara Islam berbentuk Daurah Islamiyah dengan mendirikan Darul Islam (DI) berikut kelengkapan tentara pendukungnya yang tergabung dalam Tentara Islam Indonesia (TII).  Bermarkas di punggung gunung Galunggung-Jawa Barat, sebuah wilayah tersembunyi dan sangat strategis untuk dijadikan pusat pergerakan, Karto memulai perjuangannya.

Strategi perang TII  selalu mengacu pada strategi perang ala Rasulullah dan pilihan terbaik adalah perang gerilya, walaupun mereka berjumlah sedikit namun mampu mengalahkan pasukan lawan berkat pertolongan Allah swt. Taktik gerilya ini, tentulah melibatkan peran rakyat di dalamnya, dengan bantuan rakyat maka informasi keberadaan dan kekuatan musuh dapat dipantau, sedangkan persembunyian mereka aman.

Saat Muhammad Hatta menghadiri Konferensi Meja Bundar di tahun 1949, Kartosoewirjo  resmi memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia  dan sejak saat itu, berbagai aksi perlawanan DI/TII semakin sering dilakukan di beberapa wilayah di Jawa Barat.

Jengah menghadapi pemberontakan DI/TII yang dirasa mengganggu kestabilan negara tersebut, akhirnya pemerintahpun menggelar Operasi Pagar Betis oleh pasukan Siliwangi, bersandi  “Operasi Bharatayudha”. Taktik ini pelan-pelan melemahkan pasukan DI/TII, sebab pasokan makanan kian terbatas dan banyak anggota pasukan serta keluarganya yang terserang penyakit. Akhirnya mereka mulai terdesak dan memilih menyerah. Tak terkecuali sang imam NII, Kartosoewirjo. Wasir dan TBC yang diderita ditambah kaki kanan yang pincang akibat terjangan peluru beberapa waktu sebelumnya, membuat kesehatan beliau turun drastis.

Setelah dua bulan menjalani perawatan kesehatan, Kartosuwirjo kemudian diadili oleh Mahkamah Angkatan Darat dalam keadaan Perang untuk Jawan dan Madura (mahadper). Beliau mendapat vonis hukuman mati atas tiga dakwaan: berbuat makar, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah dan upaya pembunuhan presiden Soekarno.  Tiga belas anggota regu tembak menuntaskan tiga belas tahun perjuangan gerilya Imam DI/TII  di Pulau Ubi. Seulas senyum tersungging di wajahnya, memancarkan keyakinan bahwa perjuangan fi sabilillahnya tak sia-sia.
-------------------

Demikianlah kisah tiga sahabat yang akhirnya  saling berseteru itu. Mereka mewarisi satu hal dari sang guru  HOS Tjokroaminoto, yaitu “SIFAT KERAS”. Sifat yang bisa membawa pada keberhasilan, namun juga kehancuran. Bertiga mereka memiliki cita-cita yang sama “Indonesia merdeka, berdaulat, adil dan sejahtera”.  Andai mereka bisa saling bekerjasama –menyatupadukan kecerdasan, keberanian dan kekuatan mereka sambil mengesampingkan perbedaan- seperti yang diharapkan sang guru, tentu sejarah yang tertulis akan berbeda....


--------
RaDal, 16'04'16 (00'16)

0 komentar:

Posting Komentar