RSS

PUKAT, Si Panjang Akal

 


Judul Buku       : PUKAT (Serial Anak-anak Mamak)

Penulis             : TERE LIYE

Penerbit          : Republika Penerbit

Tahun terbit    : Februari 2010

Jumlah halaman: vi + 344

 

Entah kenapa, dari keseluruhan tetralogi Serial Anak-Anak Mamak, sejak awal saya kurang antusias dengan si Pukat, anak kedua Mamak ini. Walaupun di setiap kisah saudara-saudaranya disebutkan bahwa Pukat seorang anak yang pintar, senang melakukan berbagai eksperimen (walaupun saya hanya menemukan satu eksperimen spektakularnya, yaitu membuat perahu tok-tok), namun justru dalam kisah tentang dirinya sendiri, gak ada tuh adegan dia berkutat dengan berbagai peralatan untuk membuat sesuatu.

Yup, dalam novel ini kepintaran Pukat memang bukan dalam hal penemuan teori baru bak seorang Einstein atau Archimedes. Namun kemampuan berpikir yang melebihi anak seusia dirinyalah yang membuat dirinya dikesankan sebagai seseorang yang pintar. Kemampuan untuk menghubungkan sebuah peristiwa dengan peristiwa yang lain, seperti yang disampaikan oleh Penulis (melalui penuturan Pukat) di akhir kisah, “Berpikirlah sedikit, rangkaikan sendiri kejadian-kejadian yang ada, lantas dengan cerdas mengambil keputusan. Jangan macam Burlian yang hanya sibuk  bertanya, bertanya dan bertanya.” (hal. 343)

Kepintaran Pukat dibuktikan melalui beberapa peristiwa penting yang membuat dirinya beberapa kali menjadi Pahlawan bagi kelangsungan hidup orang lain. Simaklah, bagaimana Pukat mampu menangkap penjahat yang menjarah harta benda penumpang kereta, hanya dengan sebuah akal cerdik, menaburkan tepung pada pakaian bagian bawah sang perampok, sehingga petugas keamanan mampu membedakan siapa saja gerombolan penjahat, dari 600 penumpang kereta lainnya (hal. 31)

Kemampuan Pukat untuk memecahkan sebuah masalah pelik juga terbukti kala dia harus membeli pulpen di warung Ibu Ahmad yang terletak di depan sekolah. Kala itu Ibu Ahmad terlihat kepayahan karena harus menjaga anaknya yang tengah sakit parah dan kondisi ini tak memungkinkan dirinya untuk membuka warung. Namun, Ibu Ahmad juga harus mendapatkan uang untuk biaya pengobatan anaknya serta mencukupi kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, anak-anak sekolah sangat berharap warung Ibu Ahmad buka, agar mereka dapat membeli berbagai keperluan sekolah, serta membeli jajanan ringan, sekedar penahan rasa lapar selama bersekolah.

Maka Pukat memutar otak, mencoba mencari solusi terbaik untuk mengatasi masalah tersebut. Hingga dia menemukan ide untuk menyedikan “kaleng kejujuran”. Kisah tentang kaleng kejujuran ini, diceritakan hingga empat chapter. Sepertinya Tere Liye, sang pengarang novel, sangat ingin menanamkan sifat kejujuran tanpa terkesan menggurui, bagi para pembacanya yang diperkirakan berusia remaja muda. (hal. 111)

Tindakan patriotik Pukat yang dipicu oleh kepintaran dalam mengambil keputusan, kembali terlihat kala harus menyelamatkan diri dari kepungan api pembakaran hutan, guna pembuatan ladang padi. Dikisahkan, bagaimana Pukat, beserta Burlian dan Can terjebak api, gara-gara berusaha menangkap ayam hutan. Di saat bersamaan, area tersebut telah siap untuk dibakar, karena akan dijadikan lahan bertani padi ladang, oleh Bapak. Dalam hitungan detik, mereka akan terpanggang hidup-hidup jika tidak segera mengambil keputusan, seberapapun akibat yang akan dialami. Beruntung akhirnya mereka dapat selamat, walau mengalami luka bakar stadium ringan. (hal. 301)

Tapiii, sepintar-pintarnya Pukat, dia tetaplah seorang anak yang acapkali melakukan berbagai kebodohan serta melupakan nasehat orangtua. Lihatlah, bagaimana dia bersama Can dan Burlian terlilit akar rotan (hal. 281), atau menuduh Samsurat sebagai tersangka penyerang kambing Wak Lihan tanpa bukti yang jelas. (hal 260).  

“Dengan kejadian ini, kau benar-benar menghapus seluruh hati baik yang kau miliki, Pukat… Ringan tangan membantu, pintar, selalu tahu semua jawaban, bersahaja, membanggakan. Ternyata, mulut kau sama busuknya seperti orang lain. Sama sampahnya dengan berjuta penggunjing di atas muka bumi ini.” Demikian ucapan Pak Bin, mencurahkan kekecewaannya, kala mendapati kenyataan salah seorang murid kebanggaannya tega melakukan perbuatan tak terpuji, memfitnah seseorang bahkan menyebarluaskan berita bohong tentang orang tersebut.

Melalui kisah ini, Tere Liye sepertinya kembali berusaha menanamkan kesadaran, betapa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan dan betapa buruknya kebiasaan bergunjing itu, layaknya memakan bangkai saudara sendiri. Sungguh menjijikkan, bukan?

Namun, dari keseluruhan kisah dalam novel ini, teka-teki Wak Yati-lah yang menjadi penghubung keseluruhan kisah. Lihatlah, bagaimana Pukat langsung membeli tiket penerbangan Amsterdam-Jakarta kala menemukan jawaban dari teka-teki yang telah terkubur berbelas tahun lamanya, tentang harta kampung yang paling berharga. Bukan… bukan tentang berjuta ton batubara yang terpendam di bawah tanah desa mereka. Bukan juga tentang beribu kilogram emas dan perak, ribuan hektar tanah leluhur mereka yang kini telah beralih rupa menjadi lahan sawit. Juga bukan tentang koin-koin emas keluarga Van Houten yang ditemukan di loteng masjid kampung. Ataupun tentang celengan indah naga dan peri-peri milik Nek Kiba.

Jawaban teka-teki itu demikian sederhana, namun hanya orang yang mau berpikirlah yang mampu menemukannya. Dan hal ini yang menyebabkan Pukat langsung bergegas kembali ke kampung halaman, walaupun Wak Yati sudah lama meninggal dunia. Ya, jawabannya adalah anak-anak yang dibesarkan oleh kesederhanaan kampung. Generasi yang tidak hanya mampu memastikan apakah hutan-hutan dan tanah mereka akan tetap lestari, namun juga tentang kejujuran, harga diri, perangai elok serta kebaikan yang harus tetap terpelihara di manapun mereka berada. (hal. 342)

Lantas, seperti apakah teka-teki Wak Yati itu? Begini bunyinya “Gunung runtuh, lautan mengering, awan berarak selalu pergi… kecuali satu, semua berubah siang dan malam. Nah, apakah yang satu itu? (hal.176)

***

Dengan selesainya review Novel Pukat ini, maka berakhirlah review Tetralogi Anak-anak Mamak. Secara keseluruhan, dari keempat novel, saya paling terkesan dengan kisah Burlian, terutama saat dia harus kehilangan sahabat tercinta. Emosi pembaca diaduk-aduk, terkadang tersenyum sendiri, tertawa terpingkal, atau mengusap sudut mata yang tanpa sadar telah basah, sejak awal hingga akhir perjalanan kisah Burlian, si anak badung namun dicap spesial oleh Bapak dan Mamak. Sespesial kisahnya dalam serial ini.

Insya Allah kita akan bertemu kembali di review tetralogi benda langit (Matahari-Bulan-Bintang dan Bumi)

 

RaDal, 090223 (23’24)

0 komentar:

Posting Komentar