RSS

PUKAT, Si Panjang Akal

 


Judul Buku       : PUKAT (Serial Anak-anak Mamak)

Penulis             : TERE LIYE

Penerbit          : Republika Penerbit

Tahun terbit    : Februari 2010

Jumlah halaman: vi + 344

 

Entah kenapa, dari keseluruhan tetralogi Serial Anak-Anak Mamak, sejak awal saya kurang antusias dengan si Pukat, anak kedua Mamak ini. Walaupun di setiap kisah saudara-saudaranya disebutkan bahwa Pukat seorang anak yang pintar, senang melakukan berbagai eksperimen (walaupun saya hanya menemukan satu eksperimen spektakularnya, yaitu membuat perahu tok-tok), namun justru dalam kisah tentang dirinya sendiri, gak ada tuh adegan dia berkutat dengan berbagai peralatan untuk membuat sesuatu.

Yup, dalam novel ini kepintaran Pukat memang bukan dalam hal penemuan teori baru bak seorang Einstein atau Archimedes. Namun kemampuan berpikir yang melebihi anak seusia dirinyalah yang membuat dirinya dikesankan sebagai seseorang yang pintar. Kemampuan untuk menghubungkan sebuah peristiwa dengan peristiwa yang lain, seperti yang disampaikan oleh Penulis (melalui penuturan Pukat) di akhir kisah, “Berpikirlah sedikit, rangkaikan sendiri kejadian-kejadian yang ada, lantas dengan cerdas mengambil keputusan. Jangan macam Burlian yang hanya sibuk  bertanya, bertanya dan bertanya.” (hal. 343)

BURLIAN, si Anak Spesial...






Judul Buku       : BURLIAN (Serial Anak-anak Mamak)

Penulis             : TERE LIYE

Penerbit          : Republika Penerbit

Tahun terbit    : November 2009 

Jumlah halaman: vi + 339


Barangkali saya termasuk yang paling telat membaca serial anak-anak Mamak ini. Tapi tetap beruntung, karena hidup sejaman dengan tokoh utama, yang sepertinya juga sejaman dengan Sang Penulisnya sendiri. Sehingga mudah bagi saya untuk membayangkan jalan cerita, layaknya menyaksikan sebuah pertunjukan layar lebar. Ditunjang pula dengan kepiawaian Tere Liye dalam merangkai kata yang mampu menghanyutkan pembacanya, mengaduk-aduk emosi serta mengambil hikmah dari setiap kalimat yang disampaikan oleh beberapa tokoh dalam cerita tersebut.

Tak Semua Anak Bungsu, Manja!

 


Judul Buku       : AMELIA (Serial Anak-anak Mamak)

Penulis             : TERE LIYE

Penerbit          : Republika Penerbit

Tahun terbit    : 2014 (cetakan III)

Jumlah halaman: vi + 392

 

Pernahkah terbayang di benak kita, anak usia tujuh tahun mampu berucap seperti ini?

"Paman, kalau penduduk tetap bertani begitu-begitu saja, mereka tidak akan pernah berhasil keluar dari keterbatasan yang ada. Tetap tidak ada uang untuk sekolah. Anak-anak kampung terpaksa bekerja di ladang, mencari rotan, mengambil rebung di hutan, menangkap ikan di sungai. Kampung ini bertahun-tahun hanya akan seperti itu. Anak-anaknya, cucu-cucunya tetap akan menjadi petani miskin." (Hal. 194).

Hal itu pula yang terbersit di pikiran saya, kala membaca novel Amelia, salah satu karya Bang Tere Liye dalam serial Anak-anak Mamak. Mana ada anak baru lepas balita, bisa memiliki pemikiran yang sedemikian dewasa?  Begitu peduli terhadap lingkungan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Bocah ingusan begini mah, layaknya masih senang bermain dan memiliki egosentris yang sangat tinggi. Apalagi Amelia berstatus sebagai anak bungsu, yang seringkali dicap sebagai anak manja, menyusahkan, dikit-dikit nangis, lemah, tukang ngadu, tidak bisa diandalkan, hanya merepotkan, hingga menjadi si penunggu rumah, sebagaimana yang diucapkan Burlian, sang kakak ketiga (Hal. 172)

Siapa Bilang, Jadi Anak Sulung Banyak Privilege'nya?

 




Judul Buku       : ELIANA (Serial Anak-anak Mamak)

Penulis             : TERE LIYE

Penerbit          : Republika Penerbit

Tahun terbit    : 2014 (cetakan v)

Jumlah halaman: iv + 520

 

Apa benar menjadi Si Sulung itu sebuah petaka? Harus bertanggungjawab terhadap semua adik-adiknya. Harus menjadi panutan terbaik bagi adik-adiknya. Harus ringan tangan, kaki dan menjadi tangan kanan kedua orangtuanya. Selalu disalahkan, jika adik-adiknya melakukan kesalahan. Selalu harus mengalah, jika berhadapan dengan adik-adiknya. Dan berbagai posisi tak enak lainnya.

Ah, rasanya tak selalu demikian. Bukankah si Sulung yang paling merasakan kasih sayang seutuhnya dari kedua orangtua, bahkan hingga kakek-nenek? Dia mahluk yang paling dinanti oleh semua. Dia menjadi sumber perhatian utama dan biasanya dia mendapatkan pelayanan yang terbaik, dibandingkan adik-adiknya. Walaupun ada juga yang terpaksa harus mengalah, terutama jika penyebabnya berupa masalah ekonomi keluarga belum mapan, di kala si Sulung hadir ke dunia.

***

PROLOG, Sebuah Catatan Pendahuluan


S
aya termasuk yang telat menjadi penggemar karya-karya Penulis Besar TERE LIYE. Namun setelah beberapa kali membaca serialnya, dimulai dari NEGERI PARA BEDEBAH, lanjut ke TETRALOGI BUMI – BULAN – MATAHARI - BINTANG (walaupun baru sempat baca yang MATAHARI doank). Kini bacaan saya teralih ke tetralogi sebelumnya, AMELIA – BURLIAN – PUKAT – ELIANA (inipun yang tamat baru ELIANA ajah). Koq bisa sih baca buku lompat-lompat gitu? Gak penasaran apa dengan cerita sebelumnya? Jujurly, saya pengen banget baca semuanya, apalagi kalo sesuai urutan tahun terbitnya. Namun apalah daya, dana tuk beli buku berada di urutan ke sekian, setelah kebutuhan pokok keluarga tentunya. Selain itu, bujukan layar gawai terkadang begitu melenakan.  

Baity Jannaty #3

    Memasuki tahun ketiga menempati rumah baru, secara perlahan namun pasti penghuni kompleks kian bertambah. Dari semula hanya lima KK, berkembang menjadi dua puluh rumah yang sudah ditempati. Kami yang awalnya tak bertetangga, kini memiliki dua teman baru di depan rumah. Suasana malampun kini benderang, semenjak lampu jalan dipasang dan malam kini terasa panjang. Setiap akhir pekan, kami berkumpul sekedar rujakan, menikmati jagung bakar, nonton bareng atau senam pagi bersama.

Baity Jannaty #2

Kepindahan kami ke rumah idaman berlangsung tepat sehari sebelum tahun ajaran baru dan sekalian kami merayakan ulangtahun di Sulung yang ke-12.

Hari-hari kami lewati dengan sukacita dan penuh petualangan. Namanya juga baru pindahan, semua masih dalam kondisi darurat. Anggap saja lagi kemping. Hehe.

Tak ada perabot berarti yang kami miliki. Hanya sekedar sebuah kasur dan lemari untuk masing-masing kamar, sebuah kulkas dan sebentuk tipi sebagai sarana hiburan. Tak ada kipas angin apalagi AC, toh rumah kami penuh dengan bukaan, angin bebas berseliweran.