RSS

PROLOG, Sebuah Catatan Pendahuluan


S
aya termasuk yang telat menjadi penggemar karya-karya Penulis Besar TERE LIYE. Namun setelah beberapa kali membaca serialnya, dimulai dari NEGERI PARA BEDEBAH, lanjut ke TETRALOGI BUMI – BULAN – MATAHARI - BINTANG (walaupun baru sempat baca yang MATAHARI doank). Kini bacaan saya teralih ke tetralogi sebelumnya, AMELIA – BURLIAN – PUKAT – ELIANA (inipun yang tamat baru ELIANA ajah). Koq bisa sih baca buku lompat-lompat gitu? Gak penasaran apa dengan cerita sebelumnya? Jujurly, saya pengen banget baca semuanya, apalagi kalo sesuai urutan tahun terbitnya. Namun apalah daya, dana tuk beli buku berada di urutan ke sekian, setelah kebutuhan pokok keluarga tentunya. Selain itu, bujukan layar gawai terkadang begitu melenakan.  

Nah, mumpung awal tahun nih, sayapun mencanangkan niat tuk mengasah kembali kemampuan menulis dengan sebuah mantra BACA-BACA-BACA-TULIS. Target saya, mengkhatamkan satu buku per pekan dan kemudian menuliskan reviewnya sepekan sekali. Terlalu muluk? Semoga saja tidak, karena saya merasa harus menambah amunisi menulis dengan memperbanyak bacaan terlebih dahulu. Mengapa? Karena melalui banyak sumber literasi, maka akan banyak informasi baru yang diperoleh, baik berupa perbendaharaan kata, maupun tatabahasa yang digunakan. Siapa tahu, seiring waktu ide-ide tulisan baru bermunculan. Hehe.

Kebetulan untuk saat ini, buku-buku karya Bang Darwis yang memiliki nama pena  TERE LIYE-lah yang mencuri perhatian saya. Gaya bahasanya khas (saya paling senang membaca karya penulis dari Tanah Sumatera, bahasa mereka runut dan membumi, dengan pilihan kata begitu indah), latar cerita mudah dibayangkan (kalo ini barangkali faktor U, yang mempengaruhi mempengaruhi) serta alur cerita dengan klimaks dan antiklimaks berselang-seling, sungguh mampu membuai pembacanya. Kadang membuat tersenyum hingga terpingkal, tak jarang mata pembaca dibuat berembun bahkan sesengukan. 

Beruntung di era digital ini, semua bahan literasi mudah diperoleh melalui sentuhan ujung jari. Sayangnya, saya termasuk pembaca jadul, lebih senang membolak-balik kertas dan memangku novel tebal, daripada harus memaksa mata menatap layar kaca, demi melibas deretan baris demi baris yang tersaji dalam bentuk salinan pdf’nya. Barangkali ini lebih karena faktor mata tua saya semata.

Lantas solusinya bagaimana? Tenaaang, ada banyak perpustakaan bertebaran di seluruh penjuru ibukota (kebetulan rumah saya masih di area pusat kota, memudahkan akses menuju ke sana). Mulai dari perpustakaan kecamatan, perpustakaan daerah, perpustakaan nasional hingga perpustakaan yang dikelola pihak swasta. Di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan ada sebuah perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum, suasananya yang hommy bikin kita betah berlama-lama berada di dalamnya. Kondisi perpustakaan yang dikelola pemerintahpun, kini sudah beralihrupa. Lebih ramah dan nyaman untuk mengunjunginya, bahkan tersedia arena bermain bagi balita. Ah, seandainya perpustakaan seperti ini sudah ada di jaman kecilnya saya, barangkali setiap hari akan bersembunyi di sini.

Ada sebuah cita-cita tentang perpustakaan yang hingga kini masih berupa mimpi, yaitu mendirikan perpustakaan alias Rumah Baca sendiri. Di mana anak-anak bebas membaca, belajar dan berkarya bersama teman-temannya. Menghabiskan waktu luang sepulang sekolah, daripada terjerat rayuan gawai yang terkadang justru membuat mereka menjadi sosok agresif dan anti sosial. Semoga cita-cita sederhana ini segera terwujud. Aamiin.  

#KLIP2023

#H_1

0 komentar:

Posting Komentar