RSS

BURLIAN, si Anak Spesial...






Judul Buku       : BURLIAN (Serial Anak-anak Mamak)

Penulis             : TERE LIYE

Penerbit          : Republika Penerbit

Tahun terbit    : November 2009 

Jumlah halaman: vi + 339


Barangkali saya termasuk yang paling telat membaca serial anak-anak Mamak ini. Tapi tetap beruntung, karena hidup sejaman dengan tokoh utama, yang sepertinya juga sejaman dengan Sang Penulisnya sendiri. Sehingga mudah bagi saya untuk membayangkan jalan cerita, layaknya menyaksikan sebuah pertunjukan layar lebar. Ditunjang pula dengan kepiawaian Tere Liye dalam merangkai kata yang mampu menghanyutkan pembacanya, mengaduk-aduk emosi serta mengambil hikmah dari setiap kalimat yang disampaikan oleh beberapa tokoh dalam cerita tersebut.

***

BURLIAN, anak ketiga Mamak yang jahil, keras kepala, suka seenaknya sendiri, namun sejak kecil selalu diberi label sebagai anak spesial (gak pake telur), agar memiliki pegangan setiap terbentur masalah.

Seperti ketiga saudaranya yang lain, dimana masing-masing anak memiliki julukan berbeda: Amelia anak yang kuat, Pukat si anak pintar dan Eliana si anak pemberani. Itulah cara terbaik Bapak dan Mamak dalam menumbuhkan keyakinan dan rasa percaya diri anak-anaknya. Hmm, sepertinya di jaman sekarang, jarang ditemui orangtua yang memiliki cara mendidik seperti ini.

Tak seperti dua buku yang sudah saya review sebelumnya, justru di novel BURLIAN ini, mata saya berembun sejak prolog hingga akhir epilog. Banyak kisah beraroma bawang bertaburan di dalamnya. Mulai dari kematian seorang anak yang semula tak pernah dianggap ada, bahkan menjadi korban bullying. Tapi justru menjadi calon pahlawan desa saat akan bertanding bola di tingkat kecamatan. Namun semua harapan berakhir tragis, hanya karena dia melakukan sebuah perbuatan terpuji, menolong Burlian pada waktu dan tempat yang salah (hal. 67)

“Saat semua terasa berat untuk dilalui, waktu menjadi obat paling mujarab. Sang waktu tidak pernah tua, berhenti atau berubah. Nooit verloren… tidak pernah kalah dari apapun!” Demikian nasihat Wak Yati, kakak tertua Bapak yang pernah mengecap bangku sekolah Belanda, meski tidak lulus, kala Burlian menanyakan banyak hal yang tak dimengertinya. (hal. 69).

Mata pembaca akan kembali berembun, sewaktu sampai di bab betapa seorang ibu rela melakukan pengorbanan apapun, demi keselamatan anaknya. “Jangan pernah membenci Mamak kau, Burlian… jangan pernah! Karenajika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi anak-anaknya, maka yang kau tahu itu sejatinya, bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.” (hal. 211).

Ah, Bapak memang selalu bijak, walau SD-pun tak tamat, namun berbagai pengalaman hidup telah menempa Bapak menjadi seorang yang arif bijaksana. Di saat Burlian ngambek karena Mamak tidak menepati janji untuk membelikan sepeda jika dia mampu mengkhatamkan Al Qur’an dibawah bimbingan Nek Kiba, Bapak mampu mengubahnya menjadi momen yang demikian melankolis.

Burlian, si anak spesial yang kenakalannyapun sebenarnya tak jauh berbeda dari anak seumurannya. Mulai dari rasa ingin tahu terhadap proses eksplorasi geologis penyelidikan kemungkinan adanya kandungan minyak bumi di hutan dekat kampung (hal. 14), berkelahi karena membela teman yang dibully (hal. 48), mencuri dan nekad memasang taruhan SDSB, walau tebakannya tepat namun kupon terlanjur dirobek Emak (hal 115), menjadi salah seorang relawan pembangunan jalan di desa tetangga dalam program ABRI Masuk Desa (hal. 279), memenangkan lomba balap lari dengan cara curang (hal.310), hingga secara tak sengaja menangkap residivis buron bajing loncat yang kabur dari penjara kota (hal 330).

Di antara begitu banyaknya kisah heroik yang diceritakan dalam novel ini, kisah paling fenomenal adalah persahabatannya dengan Tuan Nakamura, sang pimpinan projek pembuatan jalan propinsi yang melintasi desa mereka. Tuan Nakamura pula yang mampu merubah nasib Burlian, dari seorang anak desa isengan, jahil dan sukar diberi nasehat, menjadi seorang pemuda spesial, yang mampu melanjutkan pendidikan ke ibukota, bahkan berkunjung ke Jepang, negara kediaman Tuan Nakamura yang baik hati itu (hal 179).

Sang Penulis (Tere Liye), berusaha menghadirkan dialog Tuan Nakamura dalam logat orang Jepang, yang tak mampu mengucapkan huruf l. Sehingga setiap kata yang mengandung huruf l, akan digantikan dengan huruf r. Sayangnya, terdapat beberapa kata yang sepertinya terlewatkan, saat editor melakukan koreksi ejaan, sehingga tetap bertuliskan huruf l.  

***

“Sejatinya, setiap kali ada seseorang yang akan pergi… maka sejatinya yang pergi sama sekali tidak perlu dicemaskan. Dia akan menemukan tempat-tempat baru. Berkenalan dengan orang-orang baru. Melihat banyak hal. Belajar banyak hal. Dia akan menemukan petualangan di luar sana. Sementara yang ditinggalkan… nah itu baru perlu dicemaskan.” Pesan yang sama, yang Bapak sampaikan pada Eliana, kala pertama kali meninggalkan desa untuk menimba ilmu di ibukota kabupaten. Pesan itu sepertinya akan selalu digaungkan setiap melepaskan salah seorang anak yang menimba ilmu ke tempat lebih jauh. Emak yang semula terlihat tegar kala Eliana pamit ke melanjutkan sekolah dulu, kali ini tak mampu membendung kesedihan hatinya (hal. 332).

***

Demikianlah review anak Mamak yang ketiga. Si Anak Spesial yang memiliki berjuta pengalamanan indah di masa kecilnya dan kelak mampu mengarungi dunia, sesuai prediksi para tetua desa.

RaDal, 250123 (22’46)


0 komentar:

Posting Komentar