Judul Buku : AMELIA (Serial Anak-anak Mamak)
Penulis :
TERE LIYE
Penerbit :
Republika Penerbit
Tahun terbit : 2014
(cetakan III)
Jumlah halaman: vi + 392
Pernahkah terbayang di benak kita, anak usia
tujuh tahun mampu berucap seperti ini?
"Paman, kalau penduduk tetap bertani
begitu-begitu saja, mereka tidak akan pernah berhasil keluar dari keterbatasan
yang ada. Tetap tidak ada uang untuk sekolah. Anak-anak kampung terpaksa
bekerja di ladang, mencari rotan, mengambil rebung di hutan, menangkap ikan di
sungai. Kampung ini bertahun-tahun hanya akan seperti itu. Anak-anaknya,
cucu-cucunya tetap akan menjadi petani miskin." (Hal. 194).
Hal itu pula yang terbersit di pikiran saya,
kala membaca novel Amelia, salah satu karya Bang Tere Liye dalam serial
Anak-anak Mamak. Mana ada anak baru lepas balita, bisa memiliki pemikiran yang
sedemikian dewasa? Begitu peduli
terhadap lingkungan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Bocah
ingusan begini mah, layaknya masih senang bermain dan memiliki egosentris yang
sangat tinggi. Apalagi Amelia berstatus sebagai anak bungsu, yang seringkali dicap
sebagai anak manja, menyusahkan, dikit-dikit nangis, lemah, tukang ngadu, tidak
bisa diandalkan, hanya merepotkan, hingga menjadi si penunggu rumah,
sebagaimana yang diucapkan Burlian, sang kakak ketiga (Hal. 172)
Namun, semua pertanyaan itu terbantahkan oleh
pernyataan Paman Unus, adik lelaki kesayangan Mamak. “Karena kau memiliki
hati Mamakmu. Kau selalu peduli. Kau selalu ingin orang lain menjadi lebih baik.
Itu anugerah Tuhan yang hebat, Amel. Hati yang kuat dan teguh. Tidak dimiliki
oleh setiap orang, dan jelas tidak dimiliki oleh Burlian.” (Hal, 195)
Pernyataan Paman Unus inipun, seirama dengan
kalimat Bapak yang akan selalu dikenang Amelia cilik hingga kapanpun. “Kau
adalah anak paling kuat di keluarga kita, Amel. Kau tahu kenapa? Karena hati
kau dibuat dari kristal paling bening. Hanya seorang putri terbaik yang
memperolehnya. Putri Amelia.
Beruntungnya Amelia kecil, dididik oleh seorang
guru desa yang bersahaja namun penuh wibawa, hingga mampu menanamkan makna sebuah
kesabaran. “… Bersabar juga usaha terbaik. Ketika tidak ada lagi yang bisa
kita buat, setelah begitu banyak usaha terbaik dilakukan, maka saatnya untuk
bersabar. Cepat atau lambat, keajaiban akan tiba. Dan ketika tiba, dia datang
tak tertahankan, bahkan tembok paling keras pun runtuh. Batu paling besar pun
berlubang oleh tetes air hujan kecil yang terus menerus…” (Hal. 366)
Lebih beruntung lagi, Ameliapun mendapatkan
banyak nasihat bernas dari seorang guru ngaji sederhana dan sudah lanjut usia, Nenek
Kiba. “Dalam urusan apapun, penting sekali memiliki ilmunya. Tuntutlah ilmu
sejauh mungkin, rengkuh dia dari tempat-tempat jauh, kumpulkan dia dari
sumber-sumber terbaik, guru-guru yang tulus, agar terang cahaya kalian, terang
oleh ilmu itu. Jangan bosan karena waktu. Jangan menyerah karena keterbatasan.
Jangan malu karena ketidaktahuan. Kalian adalah anak-anak terbaik yang dimiliki
kampung ini!”
Jika ucapan tersebut disampaikan dalam sebuah
adegan film layar lebar, terbayang penggambarannya seperti ini, tetiba kilat
menyambar sekumpulan anak kampung yang duduk melingkar mengitari seorang perempuan
berambut putih, di sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Disusul
kemudian gema halilintar nan menggelegar.
***
Nah, sudah terbayangkan sekarang, bagaimana
karakter tokoh Amelia, si anak kampung yang baru berusia tujuh tahun, berhasil
dibangun dengan sangat rancak oleh sang Penulis terkenal itu?
Sebagaimana layaknya peran utama dalam sebuah
novel yang mengalami pasang-surut ritme alur cerita. Kadang dielukan bak
pahlawan kesiangan, namun di kala lain, dipaksa tuk menjadi pecundang. Demikian
pula dengan kisah si Amelia. Dia terpaksa harus mengakui kebodohan dan
kesalahannya, kala melakukan perbuatan balas dendam kepada kakak pertama,
Eliana. Namun, dia dielukan masyarakat satu kampung, berkat ide gilanya,
melakukan peremajaan tanaman kopi, menggunakan bibit unggul yang mereka
budidayakan di halaman belakang sekolah.
***
Sebagai mahluk sosial, kehidupan anak dan remaja
yang diangkat oleh Tere Liye selalu diwarnai adegan persekutuan dalam sebuah
gank kecil berisikan tiga hingga empat anak, yang sebelumnya diwarnai
perseteruan antara tokoh utama, dengan salah seorang pemeran pembantu.
Terkadang memang berakhir bahagia, namun tak ayal adapula yang berakhir tragis,
seperti di kisah Eliana dan Burlian.
Amelia, salah satu novel dari tetralogi Anak-anak
Mamak yang sempat ngehits, di jamannya. Sayang, saya baru sempat membacanya sekarang.
Namun tak mengapa, lebih baik terlambat daripada tidak pernah berkenalan dengan
keempat tokoh sentral itu sama sekali, toh?
RaDal, 200123 (22’43)
0 komentar:
Posting Komentar