Judul Buku : ELIANA (Serial Anak-anak Mamak)
Penulis : TERE LIYE
Penerbit : Republika Penerbit
Tahun terbit : 2014 (cetakan v)
Jumlah halaman: iv + 520
Apa benar menjadi Si Sulung
itu sebuah petaka? Harus bertanggungjawab terhadap semua adik-adiknya. Harus
menjadi panutan terbaik bagi adik-adiknya. Harus ringan tangan, kaki dan
menjadi tangan kanan kedua orangtuanya. Selalu disalahkan, jika adik-adiknya
melakukan kesalahan. Selalu harus mengalah, jika berhadapan dengan adik-adiknya.
Dan berbagai posisi tak enak lainnya.
Ah, rasanya tak selalu
demikian. Bukankah si Sulung yang paling merasakan kasih sayang seutuhnya dari
kedua orangtua, bahkan hingga kakek-nenek? Dia mahluk yang paling dinanti oleh
semua. Dia menjadi sumber perhatian utama dan biasanya dia mendapatkan
pelayanan yang terbaik, dibandingkan adik-adiknya. Walaupun ada juga yang
terpaksa harus mengalah, terutama jika penyebabnya berupa masalah ekonomi
keluarga belum mapan, di kala si Sulung hadir ke dunia.
***
Hal inilah yang diresahkan oleh ELIANA, tokoh utama dalam tetralogi terakhir serial Anak-Anak Mamak, karya TERE LIYE. Dia merasa seluruh beban sebagai kakak tertua begitu tak menyenangkan, hingga akhirnya timbul pemberontakan untuk mengakhiri status tersebut, dengan cara kabur dari rumah. Minggat. Berbagai pikiran buruk terus berkecamuk selama masa gonjang-ganjing jiwa tersebut. Beruntung, ELIANA memutuskan mutung di rumah seorang tua yang bijak, Mak Wo’nya sendiri.
Dan, di sinilah kesadaran
bahwa Mamak ternyata sangat sayang dan begitu menghargainya sebagai si Sulung
dari empat bersaudara, timbul di akhir masa pelarian dari rumah.
“Jangan pernah membenci Mamak kau,
Eliana. Karena kalau kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakulan
untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan sepersepuluh dari semua
pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian”
“Apa yang telah
kulakukan? Aku telah menuduh Mamak benci padaku? Aku menduga Mamak tidak
membutuhkanku lagi? Mamak mengusirku?”
Pada bab ini, emosi pembaca
diaduk sedemikian rupa. Tak terasa napas memberat, liang hidung mendadak
tersumbat, matapun berkali mengerjap mengatasi banjir yang seolah tak
tertahankan. Ya, novel ini berisikan berbagai nasihat hidup yang disampaikan secara
apik dan tak terkesan menggurui. Bravo buat Bang Tere Liye untuk urusan
merangkai kata seperti ini.
***
Banyak hal dapat diperoleh
dari membaca novel setebal 500 halaman lebih ini. Bukan sekedar bagaimana seharusnya
seorang ayah bersikap kepada anaknya, mewariskan berbagai kebijaksanaan hidup melalui
dialog bernas antara anak dan ayah, menularkan kebaikan melalui tindak yang
terlihat langsung, serta memberikan nasihat secara arif, namun juga membahas
tentang dampak kerusakan alam yang terjadi di desa mereka dan secara terus
menerus ditentang oleh penduduk setempat.
Selain itu, Pembaca juga
diajak bertualang ke sebuah hutan perawan yang ternyata menyimpan sebuah
kekayaan sejati negeri kita, lima kuntum bunga yang cuma ada di belahan bumi
ini dan mekar hanya sekali untuk kemudian mati. Emosi Pembaca juga diaduk-aduk
bak molen semen, kala “Empat Buntal”, sekawanan murid kelas 6 SD beraksi
mengharumkan nama sekolah mereka yang sesungguhnya sama sekali tak terkenal, hingga
aksi nekad mereka menghentikan proses penambangan pasir yang sangat mengganggu
kestabilan ekosistem kehidupan desa.
***
Hanya itu? Ah, tentu sebuah
hal yang biasa jika Penulis mampu menyajikan alur cerita yang begitu dramatik!
Justru di novel ini, ditemukan beberapa perbendaharaan kata baru yang begitu
menggoda untuk disimpan dan direnungkan. Sayangnya, saya baru menyadari hal
tersebut setelah menyelesaikan hampir separuh perjalanan novel. Kabar baiknya, saya
akan menuliskan di sini rangkaian kata yang demikian menarik minat literasi
saya, sehingga tak perlulah mencarinya kembali di ratusan lembar halaman
penyusun buku yang lumayan tebal ini.
-
Mengesaikan
tikar pandan
-
Ribuan
larik tetes gerimis
-
Guntur
bergemeletuk
-
Motor
meraung
-
Gerimis
tidak menderas, tidak juga mereda.
-
Sejauh
mata memandang, hutan rebah jimpah…
-
Ular
besi yang kami tumpangi, gagah mendaki bukit.
Suara bergemerutuk roda bajanya
melindas batangan rel terdengar berisik. Belum lagi auman panjang lokomotif. Burung-burung
kaget, beterbangan
di atas kanopi hutan…. Angin
sepoi-sepoi melintasi
bingkai jendela kaca kusam, membawa
kantuk.
Bagaimana? Pilihan katanya
begitu bernas, bukan? Beberapa kata personifikasi digunakan, untuk
menggambarkan benda mati yang sifatnya seperti manusia atau mahkluk hidup lainnya.
Itu baru soal pilihan kata alias diksi, belum lagi masalah filosofi kehidupan
yang dituangkan oleh Penulis dalam novel ini, melalui nasehat seorang Ayah kepada
anaknya, ataupun ucapan seorang guru kepada murid-muridnya.
Ya, ternyata banyak hal
yang dapat diperoleh dengan rajin membaca, yang bukan sekedar membaca lho yaa…
Oke? Apakah setelah membaca tulisan ini, terbersit niat untuk memulai kebiasaan
membaca, mumpung masih awal tahun niih!
*RaDal, 050123 (23.23)
#KLIP2023
#H2
0 komentar:
Posting Komentar