Selasa, 4 Agustus 2015
Alhamdulillah...akhirnya nyampe juga di Kawah Bromo |
Bromo... Sudah lama
sekali aku berkeinginan mengunjungi salah satu destinasi indah di kabupaten Pasuruan ini. Rasa
penasaran yang memuncak, akhirnya membawa kami ke sana. Beruntung salah seorang
sepupu si Mas, ikhlas meminjamkan mobil Espass’nya.
Usai perhelatan Ngunduh Mantu iparku Joko Santoso, esok
paginya kami bergegas menuju kota Probolinggo. Aku memilih menuju Bromo melalui
Probolinggo, konon kabarnya jalur ke sana lebih landai dan lebih aman, mengingat
kami menggunakan kendaraan pinjaman. Kebetulan, ada sepupu dari garis Ibuku
bermukim di sana, jadi kami bisa istirahat sejenak sekalian bersilaturahim.
Tepat pukul 10 pagi dengan berbekal do’a, kuarahkan
kendaraan menuju Bangil. Kami mampir sejenak di Watulunyu, dusun kecil di
sebelah selatan Bangil. Kedatanganku ini
sambil mengantarkan Mak Sulikah (Mak kah), kakak bapak mertuaku
almarhum. Di desa ini Mak Kah tinggal. Sayang, musim mangga belum tiba,
sehingga kami tidak bisa menikmati mangga arumanis dari desa ini yang terkenal
hingga mancanegara. Kekecewaan kami sedikit terobati, sebab di halaman belakang
terdapat kandang kambing, Haqi dan Pia dapat belajar memberi makan
kambing-kambing yang rencananya akan dijual kala musim haji tiba.
Mas Haqi memberi makan kambing |
Puas bermain dengan kambing dan belajar tentang kesenian
setempat (unta-untaan), kami pamit melanjutkan perjalanan menuju kota
Pasuruan. Di kota ini, kami
bersilaturahim ke keluarga Mbak Tami, sepupu jauh si Mas yang tinggal di
Kejayan. Kami disuguhi rujak cingur, makanan favoritku. Alhamdulillah...
Sore menjelang, namun perjalanan masih panjang. Sebelum memasuki kota Probolinggo, kami
mampir sejenak di Rumah Makan Rawon Nguling. Kuah rawon nan lezat, ditambah
potongan dagingnya yang besar dan empuk, benar-benar cocok mewakili wisata
kuliner ala Jawa Timuran. Pantas saja rumah makan ini selalu ramai dikunjungi,
bahkan oleh mantan Presiden Gus Dur dan SBY.
![]() |
Rawon Nguling dan kelengkapannya |
Sembari terus berusaha menghubungi mbak Ani, sepupuku yang
tinggal di Probolinggo, kami beristirahat makan malam dan menunaikan sholat
magrib. Alhamdulillah, saat makanan
telah habis disantap, mbak Ani menelponku. Kami sempat khawatir, sejak siang
hari sepupuku ini belum berhasil dihubungi. Beliau senang sekali menerima
kunjungan kami. Lebih beruntung lagi, sahabat si Mas yang notabene adalah menantu
pemilik usaha rumah makan Rawon Nguling, ternyata sedang berada di Probolinggo dan
berkenan bertemu kami di rumah mbak Ani.
Setelah mendapat kepastian alamat, kendaraan kuarahkan ke
kota Probolinggo. Tak sulit mencari rumah yang terletak di belakang RSUD
Probolinggo itu. Kedatangan kami disambut keramahan khas orang Jawa. Aku ingat,
pertama dan terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah ini, kala aku masih kelas
3 SD. Saat itu Budhe dan Pakdheku masih ada. Kebetulan dua anak beliau yang
berprofesi sebagai dokter, pernah tinggal di rumah kami, jadi aku merasa cukup
akrab dengan anak-anaknya yang lain, walaupun belum pernah bertemu muka.
Bersama sepupuku, Mbak Ani |
Mbak Ani yang pensiunan pegawai Kantor Pos beserta mas Teguh
suaminya, kini tinggal berdua saja di rumah besar itu. Putri sulung mereka
seorang dokter yang sedang menyelesaikan pendidikan spesialisnya di UGM telah
menikah dan memiliki seorang baby. Sedangkan putra bungsunya, sedang menuntut
ilmu di kota Malang.
Tak lama dari kedatangan kami, sahabat si Mas muncul. Namanya
Rofiq Ali Pribadi. Si Mas biasa memanggilnya Didik. Mereka bersahabat sejak
kecil, kuliah hingga dewasa. Sebagai menantu
pemilik usaha Rawon Nguling yang legendaris itu, beliau biasa dipanggil H.
Rofiq. Aktifitas beliau cukup banyak. Sebagai arsitek juga sebagai pengurus
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia di kota Probolinggo.
Kami berdiskusi panjang tentang rencana keberangkatan ke
Bromo. Ternyata, ada dua destinasi di
Bromo yang bisa kami kunjungi. Pertama adalah Puncak Penanjakan, sebuah puncak
bukit tempat menyaksikan Sunrise atau matahari terbit dari balik Gunung Bromo.
Destinasi kedua adalah, Kawah Bromo.
Biasanya wisatawan berangkat tengah malam dari Probolinggo
dan menginap sejenak di Cemoro Lawang. Pukul
2 dinihari, mereka akan beranjak menuju Penanjakan serta menanti keindahan saat
matahari terbit di sana. Suhu udara yang sangat dingin, membutuhkan persiapan
lebih tentunya, baik berupa jaket tebal, penutup kepala maupun sarung tangan. Kami
tak memiliki persiapan itu semua.
Akhirnya, demi keselamatan serta tubuh yang mulai menuntut
haknya untuk beristirahat, aku dan si Mas memutuskan untuk menginap saja di
Probolinggo. Esok pagi kami akan menuju Kawah Bromo. Harapanku, Insya Allah di
lain waktu kami dapat menikmati Sunrise dari Puncak Bukit Penanjakan melalui
jalur yang berbeda.
Pukul setengah sebelas malam, Mas Didik pamit pulang.
Beruntung malam itu kami bertemu beliau. Sebagai salah seorang pengurus PHRI
Probolinggo beliau banyak memberi informasi mengenai rute, kondisi jalan,
tempat pemberhentian, harga tiket, harga sewa jeep, destinasi yang harus
dikunjungi, serta tak kalah penting...tips menghadapi trik petugas loket dan
penawar jasa penyewaan jeep.
Malam itu kami tertidur pulas. Kasur empuk beralaskan seprai
yang bersih nyaman, mampu meninabobokan kami dalam sekejap.
0 komentar:
Posting Komentar