PALANG (Rabu, 29 Juli 2015)
Brrrrr... dingin udara pagi begitu menusuk hingga gigipun
gemerutuk. Perlahan konvoi empat motor yang baru saja menjemput kami,
meninggalkan Stasiun Lawang. Kulirik layar hape sejenak, waktu menunjukkan
pukul 02.00 dini hari. Jalanan begitu sunyi, hanya sesekali melintas bus, truk,
colt dan beberapa sepeda motor membawa sayuran dari Pasar Lawang. Ya, Pasar
Lawang merupakan salah satu pusat kulakan di daerah pinggiran Kabupaten Malang.
Ramai suasana pasar, namun tidak di jalanan.
Tak sampai setengah jam, kamipun telah menginjakkan kaki di
sebuah rumah mungil bercat biru. Tak banyak yang berubah dari rumah ini, rumah
warisan mertuaku yang kini ditempati adik bungsu beserta keluarganya.
Setelah meletakkan barang bawaan serta membuang hajat yang
tertahan sejak di kereta semalaman, kami berniat mengisi perut yang mendadak
keroncongan, sekalian sahur. Kemarin selama perjalanan, alhamdulillah kami
berhasil melaksanakan shaum Syawal, tinggal beberapa hari lagi yang
harus kami jalani.
Sewaktu awal menikah Mas pernah bercerita, ada sebuah warung
rawon buka dini hari untuk melayani orang-orang pasar Palang. Berharap sembari setengah penasaran, kami menuju ke sana. Perjalanan
menanjak menyusuri jalanan menuju Taman Safari Prigen sebelum akhirnya berbelok ke arah kanan dan
dari kejauhan terlihat sebuah warung mungil bersinarkan lampu remang-remang. “Oh ini rupanya warung rawon yang tersohor di
kalangan orang-orang pasar itu”, batinku.
Kami memesan setengah lusin nasi rawon dan sepiring nasi
gule, teh manis hangat serta beberapa bungkus kerupuk sebagai pelengkap. Kami beruntung, warung
sedang sepi pengungjung. Hanya ada seorang bapak setengah tua yang asyik
menyantap sarapannya, tak lama si bapak itupun pergi. Tinggallah kami menikmati
sarapan ala orang pedesaan di Pasuruan. Tak ada yang istimewa baik dari
rasa, penampilan, ukuran empal maupun
taburan taoge yang disajikan. Standar rawon ala Pasuruan, yang sering kubilang
“rawon encer”, karena sangat berbeda dengan rawon ala ibuku yang berkuah agak
kental, dipenuhi potongan sandung lamur dan labu siam.
Kala perut sudah kenyang terisi, badan mulai menuntut untuk
rebah dan mengistirahatkan diri. Terkantuk-kantuk kami berkendara turun kembali ke rumah, tak lama
adzan subuh berkumandang. Usai menunaikan sholat subuh, mata sudah tak sanggup
melakukan perlawanan dan kamipun bertumbangan, menikmati empuknya kasur kapuk.
-------------------------------
Mentari terasa begitu menyengat, menandakan musim kemarau
telah tiba. Jam di dinding baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Ponakanku sudah
pada pamit ke sekolah semua. Suasana sepi, anak dan suamiku masih tidur.
Sejenak aku membereskan barang bawaan kami,
sebelum akhirnya mengelilingi rumah. “Ah, tak terasa sudah tiga tahun yang lalu, terakhir aku menginjakkan
kaki di sini.”
Kala itu aku mengantarkan mas Amir yang berniat berlibur di
kampung halaman ayahnya. Kami bertualang naik kereta Matarmaja yang penuh sesak
dan harus ikhlas berdesakan dengan keluarga lain yang tak mendapatkan tempat
duduk. Ya, saat itu belum berlaku aturan setiap penumpang kereta api jarak jauh
harus mendapatkan tempat duduk. Aku kagum pada para
pedagang asongan, mereka dengan lincahnya berlompatan dari kursi satu ke kursi lain, sembari
membawa satu-dua termos air panas yang sekelilinginya penuh pop mie dan minuman
instan rentengan. Atraksi yang lumayan seru, pengobat kesumpekan suasana kereta
yang bak kaleng sarden, karena tak ada tempat lowong sama sekali.
![]() |
ilustrasi |
Hanya semalam aku di Palang, esok sorenya aku kembali harus
menikmati perjalanan panjang menuju Jakarta dalam sebuah kereta ekonomi
bertarif sangat murah, hanya tigapuluh lima ribu rupiah. Wajar jika masyarakat
kebanyakan berbondong-bondong melakukan perjalanan ke Malang dengan kereta
Matarmaja ini.
Tak ada kursi empuk yang dapat disetel, apalagi pendingin
udara. Hanya belasan pasang kursi hijau terpasang berhadapan di setiap kereta. Lapisan busa super tipis dengan sandaran
tegak kaku menemani selama tujuh belas jam perjalanan. Semerbak bau khas toilet
yang jorok sering kali tercium hingga ke dalam kereta, menambah mantap niatku
untuk tak buang air selama perjalanan nan panjang tak berkesudahan.
-------------------------------
Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruang tengah. Iparku tak sempat bebersih rupanya. Segera
kuambil sapu dan tak lama kemudian aku sudah asyik melantai kala mbak Rum,
sepupu si Mas datang berkunjung.
Siang itu, aku memang berniat hanya beristirahat saja di
rumah, sembari bersilaturahim ke saudara-saudara Mas di kampung. Menjelang sore
kantuk kembali menerpa, bergegas aku ke Salon yang terletak tak jauh dari
rumah. Lumayan, numpang tidur sekalian facial, tetiba wajahku terasa kotor dan
kasar sekali. “Ah, efek psikologis saja
akibat sudah lama wajahku tak kena sentuhan jemari lentak si mbak-mbak salon”,
batinku
Menjelang magrib kami menghadiri arisan keluarga Bani
Chodjin di rumah makan lesehan “Mbak Sum” di jalan menuju Taman Safari
Prigen. Juniar adik kandung si Mas yang
jadi Tuan Rumahnya. Masakannya lumayan enak, namun porsi lalapan terkesan “yang
penting ada”, beda sekali dengan rumah makan lesehan di Tanah Parahiyangan.
Barangkali karena orang Jawa bukan penggemar sayuran mentah segar, jadi lalapan
hanya dijadikan pelengkap penderita.
Gurame bakar, gurame pesmol, ayam bakar, ayam goreng, tumis
kangkung yang dimasak ala kadarnya serta minuman es jeruk dan es beras kencur
ludes diserbu dalam tempo singkat. Bahkan Amir tampak masih tak rela, kala
melihat ada sepotong ikan belum sempat diesksekusi. Akhirnya, semua piring
licin tandas.
Agenda dilanjutkan dengan rapat keluarga, persiapan akhir
acara pernikahan dan ngunduh mantu Joko Santoso, adik lelaki kelima. Ternyata
rapat tak berlangsung lama, selain karena persiapan memang sudah matang, mata
dan badanpun tak mau diajak kompromi. Efek begadang kemarin malam masih
tersisa, rupanya.
Rombongan berpisah dan kembali ke rumah masing-masing. Esok sore, Joko dijadwalkan ke Lawatan untuk
melaksanakan Ijab-Kabul secara adat. Aku merasa tidak perlu hadir, jadi aku
berencana jalan-jalan ke Surabaya bersama Haqi dan Pia saja, lanjut silaturahmi
ke kediaman keluarga Indra-Rina, sohib karibku di IPB.
Dalam perjalanan menuju rumah, kami singgah ke rumah sepupu ibu mertua. Bersilaturahim
sambil menengok beliau yang tergolek di atas ranjang. Sudah beberapa waktu ini
beliau mengidap kanker paru. Semoga
kunjungan ini sedikit menghiburnya. Kata
Rasulullah, menengok orang sakit adalah salah satu ciri-ciri orang yang beriman.
Sebelum berangkat ke peraduan, Haqi dan Pia kuwanti-wanti agar
besok bangun lebih awal, karena jam 04.45 wib kamu sudah harus naik elf ke
Porong untuk selanjutnya berganti naik komuterline menuju Surabaya. Sesuai
petunjuk mas Hadi dan mbak Rojah, destinasi yang akan kukunjungi di Surabaya
lebih mudah dicapai dengan menggunakan komuterline yang dijadwalkan berhenti di
St. Porong pukul 05.45.
-------------------------------
RaDal, 4’09’15 (07’15)
0 komentar:
Posting Komentar