Tiba-tiba BB-ku menampilkan pesan
singkatnya. “Hah, tumben dia BBM aku…ada apa gerangan?”, pikirku sepintas,
sebelum akhirnya kubalas BBM-nya “Lom sempet. Aya naon??”
“Pengajuan aplikasi beasiswa buat
mahasiswa UGM, anaknya penjual martabak”, balasnya.
“Ok. Insya Allah, ntar kulihat”,
tulisku dan langsung ku pencet tombol enter…
“Tolong usahakan disetujui yaa…”,
pintanya kembali
“Iya, sabar…do’akan saja si anak
memenuhi syarat pengajuan beasiswa. Lagian
kamu ngajuinnya mahasiswa sih, kemaren kan aku bilang buat anak SD/SMP”,
timpalku
“Yah…namanya juga usaha ”, balasnya.
Aaah…percakapan yang sangat
singkat, namun sempat menggetarkan hatiku walaupun isinya serba formal. Yaa…dialah my firstlove berpuluh-puluh tahun
yang lalu dan karena kecanggihan teknologilah, yang mempertemukan kami kembali.
Pramudya, namanya. Temanku di
kelas 1 SMP. Kami sempat terlibat cinta bebek monyet, saling mengagumi dan
bersaing namun tak pernah terungkapkan, begitulah dinamika cinta ala ABG kala
itu.
Duapuluh lima tahun kemudian,
melalui percakapan ringan di yahoo messenger, terungkaplah semua cerita
terpendam. Kupikir selama ini hanya aku
yang selalu terbayang-bayang akan dirinya, ternyata diapun masih menyimpan
secara rinci memori masa lalu kami…
“Aku ingat…”, tulisnya kala kami
chatting, “Dulu omku pernah bilang, waktu dia ambil raporku, wali kelas kita
bilang gini “sepertinya ponakan bapak tertarik dengan teman sekelasnya””…
Deg!! Jantungku serasa terhenti.
“Dan…aku juga ingat, yang
dimaksud teman sekelasku itu ya kamu!”, tulisnya lagi, “Si hitam manis, yang
pintar”
“Tapi, waktu itu, kamu emang ada perhatian kan
padaku”, lanjutku, penasaran.
“Yah ada, kalo enggak mana aku ingat cerita om-ku itu”, timpalnya.
“Tapi, kenapa kamu enggak nembak
aku?”, kejarku lagi.
“Aku minder. Kamu kan anak
pejabat dan keturunan ningrat pula”, ujarnya polos.
“Ya ampuuun… yang pejabat dan
ningrat kan orangtuaku, sedang aku gadis biasa aja”, protesku
“Iya, tapi mbahku orang gunung dan aku hanya
konsultan…kongkonane (suruhannya) sultan
alias raden, kamu kan radennya”, kilahnya.
“Waduh…jaman sudah canggih
begini, kamu koq ngomong kayak gitu. Feodal banget yaa??”, protesku
“Ah, gak juga”, balesnya cepat, “Ayah
selalu mengajarkan kami demokrasi. Setiap pendapat kami di dengar dan ditampung. Hingga kini kebiasaan itu kami pelihara terus
di keluarga kami masing-masing”.
“Wah...bener-bener luar biasa
keluarga kalian”, pujiku. “Oya, kalo gak
salah ayahmu namanya Rahardjo, ya?”
“Iya, Rahardho Sumitro, beliau sudah
meninggal lima tahun yang lalu dan warisan terbesar beliau adalah pesantren di
desa kami, di gunung, ingat kami orang gunung”, tulisnya panjang lebar.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, balasku,
“Maaf ya, kalo aku sudah membuat kamu sedih”
“Gak pa pa”, timpalnya, “Ibuku
menangis waktu peresmian pesantren itu dua tahun yang lalu. Beliau teringat
betapa ayah dahulu sangat bersemangat untuk mendirikan pesantren itu yang
akhirnya terealisasi di saat ayah telah tiada”
Haru biru hatiku, membaca baris
demi baris curhatnya. Tiba-tiba
pikiranku melayang jauh menembus batas waktu, di saat kami masih sama-sama
remaja ingusan. Aku pernah berkunjung ke
rumahnya, untuk menjenguknya yang sedang dalam tahap pemulihan setelah
menjalani operasi usus buntu.
Kala itu aku sempat bertemu
dengan seorang lelaki bersahaja, namun memancarkan wibawa yang sangat.
Yaa…beliaulah Rahardjo Sumitro, ayahanda Pramudya. Pak Rahardjo seorang pejabat di wilayahnya,
walaupun hanya setingkat Ketua RW, namun beliau dikenal luas oleh seluruh
warganya sebagai seorang ketua RW yang penuh tanggungjawab dan berdedikasi
untuk memajukan wilayah kekuasaannya, yang kala itu merupakan sebuah kompleks
pemukiman baru.
“Kini, kami anak-anaknya berjuang
keras bahu membahu meneruskan cita-cita ayah kami, menjadikan pesantren sebagai
wadah bagi anak-anak sekitar untuk meraih pengharapan yang lebih baik dari
orangtua mereka”, sambungnya kembali, memutuskan lamunan sesaatku.
Pramudya…kamu gak pernah berubah,
selalu idealis dari dulu hingga sekarang, bibit-bibit kekagumanku kembali
menyeruak…menggugah rasa itu, rasa yang telah berpuluh-puluh tahun terpendam,
namun senantiasa muncul di
mimpi-mimpiku.
“Terimakasih, kamu udah mau
mendengar ceritaku. Maaf kalo sampai
mengganggu. Udahan dulu ya, aku mau meeting dengan yang Maha Kuasa”, tulisnya
kembali “Tuh udah dipanggil. Salam”
Aah…cara pamitnya yang sangat
khas… Aura kealimannya memancar semakin kuat, seiring dengan bertambahnya
usia. Pramudya…kamu gak pernah berubah,
tetap alim dari dahulu hingga sekarang…
Depok-11'11'11
0 komentar:
Posting Komentar