Pramudya, kala kukenal pertama
kali, adalah sosok pendiam berkacamata, hitam manis dan jika berbicara agak
gagap.
“Bo…boleh gak aku pinjem
catatanmu?”, pintanya seraya menghampiri.
Saat itu aku sedang berkemas-kemas pulang setelah bel berdentang tanda
jam pelajaran usai.
“Boleh, tapi apa kamu bisa baca
tulisanku?”, candaku
“Y...yaa… ka..kalo gi..gi..gitu,
sekalian de…dengan kamusnya de..deh…”, ucapnya tergagap
“Ah, aku becanda koq… Nih ambil,
tapi jangan diilangin yaa… ini barang langka, gak ada catatan sekomplit punyaku
loo”, selorohku.
“Ju…justru itu, aku jadi pengen
pi…pinjem ca..catatanmu”, kilahnya sambil tersenyum. Ah senyuman termanis dari seseorang yang
selama ini kukagumi diam-diam.
Duapuluh lima tahun kemudian, di
saat kami berdiskusi di YM, masalah kegagapannya itu sempat terlontar secara
tak sengaja.
“Justru itu yang ingin
kuhilangkan”, jawabnya
“Aku sama sekali tidak suka
dengan kondisiku kala itu. Aku merasa minder, culun dan tidak percaya diri. Untuk menghilangkan kegagapanku itu, aku bahkan sampai mengikuti berbagai terapi
dan Alhamdulillah saat aku lulus SMA aku berhasil mengatasinya”, lanjutnya
panjang lebar.
“Terus, kamu masih merasa culun
dan minder sampai kapan?”, kejarku
“Iya sampai aku lulus SMA juga…”,
jawabnya
“Itulah makanya kenapa aku tidak
jadi mendaftar di UI, padahal aku diterima melalui jalur PMDK di sana. Aku
merasa tidak pantas kuliah di UI yang mahasiswanya berasal dari golongan
menengah ke atas, sedangkan aku kan hanya cucunya orang gunung”, lanjutnya lagi
“Oh iya, kamu akhirnya kuliah di
STAN kan?”, potongku
“Iya, di sana aku bisa kuliah
dengan ikatan dinas, jadi tidak merepotkan orangtua untuk memikirkan biayanya
dan begitu selesai aku bisa langsung kerja”, balasnya
Aah..benar-benar pemikiran yang
sangat dewasa untuk remaja seusianya kala itu.
“Aku juga waktu itu sempat
ndaftar di STAN, tapi karena aku diterima di kampus rakyat, gak jadi deh ke
STAN”, imbuhku
“Kenapa kamu tidak ndaftar di UI
juga?”, tanyanya penasaran
“Gak ah…aku kan rakyat jelata
juga sama seperti kamu. Takut masuk kampus orang-orang borju”, selorohku.
“Tapi sekarang kamu sudah gak
gagap dan gak minder lagi kan??”, kejarku
“Ya enggak dong, kan aku sudah
bilang, gagap dan minderku hilang saat aku kuliah”, jawabnya diplomatis
“Oh iya…aku lupa tadi kamu dah
bilang gitu…maaf yaa..., sekarang kamu terlihat lebih berwibawa loh”, cercahku
“Ya, kan sudah tuwir… uban sudah
banyak, anak sudah besar-besar. Terkadang aku merasa aneh di bandingkan
teman-teman. Eh, teman-teman ada yang suka ngomongin aku gak?, tanyanya
“Ngomongin apa?”, timpalku cepat
“Iya, aku kan beda dengan kalian.
Anakku saja sudah SMA, sedang teman-teman kita anaknya masih kecil-kecil.”,
urainya
“Ya gak lah. Kamu sih nikahnya kemudaan”, selorohku lagi
“Iya, sewaktu baru lulus, aku
ditempatkan di daerah dan kupikir aku harus punya bekal, makanya aku langsung
nikah, supaya tenang”, urainya lagi
“Ooo gitu, istrimu temen
kuliah?”, kejarku
“Enggak, teman pengajian,
dikenalin sama temanku”, jawabnya singkat
“O ya?? Dulu kamu ngaji di mana?,
cecarku lagi
“Di Ma’had Bangka, hanya ambil
kursus bahasa arab koq”, ujarnya merendah
“Wah, aku jadi minder nih,
ngobrol ama orang yang pinter berbagai bahasa”, balasku
“Enggak juga, kamu yang pinter,
buktinya bisa kuliah di kampus rakyat”, balasnya seraya memujiku entah ihklas
apa enggak…
“Huuu…basiii!!”, tulisku cepat
Itulah Pramudya…sosok yang dulu
merasa dirinya culun, minder dan gagap, akhirnya tumbuh menjadi seorang akuntan
public yang super sibuk, bisnisman yang tangguh, namun masih sangat peduli
dengan urusan rumahtangganya. Masih mau membantu istrinya mengasuh putri bungsu
mereka yang masih balita dan tiga anaknya yang lain bersekolah di pesantren
semua….
Depok-11'11'11
0 komentar:
Posting Komentar