Rabu, 5 Agustus 2015
Bromo dipandang dari halaman Hotel Lava View |
Matahari mulai menampakkan sinarnya, kupacu Espass dengan kecepatan sedang meninggalkan kota Probolinggo setelah sebelumnya berpamitan dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga pada mbak Ani yang telah direpotkan oleh kedatangan kami yang mendadak semalam.
pemandangan ladang sayur terbentang sepanjang perjalanan menuju Bromo |
Dua kali aku salah mengambil jalan akibat kurang waspada
membaca rambu yang ada. Hingga suatu ketika, kekhawatiranku akhirnya berwujud
juga. Di saat aku mundur dan mencoba berbalik arah, tiba-tiba mesin mobil mati.
Agak sulit menyalakannya kembali. Perlahan kutarik nafas, berusaha berfikir
jernih dan tetap melantunkan segala do’a yang mampu kuingat. Kumulai langkah
awal menyalakan kendaraan, hidupkan stop kontak-tekan gas-tekan
kopling-masukkan persneling dan mulai
melepaskan kopling pelan-pelan sembari melepaskan rem tangan dan rem kaki
bersamaan. Alhamdulillah, ujian pertama terlampaui.
Ketika nyasar di tikungan berikutnya, aku lebih memilih
mencari tempat agak luas untuk berbalik arah. Alhamdulillah, tak mengalami
kendala berarti seperti di tikungan sebelumnya.
----------------------------------
Pikiranku sesaat terlempar ke tahun 1998, saat itu Bapak
Mertua sedang dirawat di rumah sakit Lavalete di kota Malang. Aku diberi
kepercayaan beliau untuk mengendarai kendaraannya. Iseng, kubawa Amir yang
masih bayi, beserta dua orang ponakan dan Wawoek adik bungsu si Mas jalan-jalan
ke Air Terjun Coban Rondo. Selain jalanannya menanjak lumayan terjal, rupanya
kendaraan carry tua milik bapak mertua tak mampu mengatasinya dan mesin
tiba-tiba mati di saat aku sedang berusaha menyalip sebuah kendaraan lain yang
kunilai berjalan terlalu lambat di depanku.
Perlahan si carry meluncur turun walaupun aku sudah berusaha menginjak rem sekuat
tenaga, serta menarik rem tangan ke atas semaksimal mungkin. Kakiku sudah
bergetar lemas tak keruan, mulut rasanya tak berhenti melantunkan do’a, namun
mesin tak jua menyala dan carry terus meluncur. Beruntung di belakangku tak ada
kendaraan lain, karena ternyata aku salah memilih jalur pendakian. Harusnya aku
berbelok mengikuti jalur yang lebih landai. Namun, karena tak mengenal medan
akhirnya aku memasuki jalur yang lebih terjal.
Hingga akhirnya kuputuskan berbalik arah ketika menemukan
pertigaan itu kembali. Namun... perhitunganku meleset. Ketika sedang berputar
arah, roda kiri belakang carry masuk ke dalam parit yang lumayan dalam,
beruntung bukan jurang. Buru-buru kami turun dan berharap ada kendaraan lain
lewat dan bersedia membantu. Rintik hujan mulai membasahi kami, namun tak
tampak seorangpun di kejauhan.
Setengah putus asa, kuterus panjatkan do’a, hingga akhirnya
ada sebuah kendaraan umum berhenti. Beberapa penumpangnya turun dan
beramai-ramai mengangkat roda carry yang sempat masuk ke parit itu.
Alhamdulillah, nyawa kami masih selamat dan si carry baik-baik saja. Tanpa
sempat mengucapkan terimakasih, para bapak penolong telah menghilang dari
pandangan.
Inilah hari terakhir aku bertemu Sang Bapak Mertua, karena sorenya aku kembali harus memacu si Carry, kali ini menuju kota Malang membawa serta adik serta besan Bapak Mertuaku menuju rumah sakit di Malang untuk menjenguk beliau. Namun takdir berkata lain, di saat adzan magrib berkumandang, aku mendapatkan kabar bahwa Bapak Mertua telah berpulang ke Rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Maafkan kami tak sempat menemuimu Bapak, karena sesaat sebelum kepergianmu, Amir yang waktu itu berusia 2 tahun menangis tanpa sebab yang jelas dan tak mau berhenti, hingga aku harus menjauh dari kamar Bapak dirawat.
----------------------------------
Hampir dua jam, tibalah kami di Cemoro Lawang. Kedatangan
kami disambut oleh dua gerbang Taman Wisata Bromo. Di gerbang pertama kami
diminta membayar tiket masuk seharga Rp 5.000,00 per orang. Walaupun kami
berlima, namun dihitung hanya bertiga sebab Haqi dan Pia dianggap masih
anak-anak. Jadi total yang harus kubayarkan Rp 20.000, berikut tiket untuk 1
mobil.
Ketika petugas loket sedang menghitung jumlah yang harus
kami bayar, tiba-tiba dari balik jendela muncul kepala seorang lelaki kurus
hitam dengan pakaian khas Bromo, sarung dan Kupluk di kepala sebagai penghilang
rasa dingin. Ternyata beliau menawarkan sewa jeep seharga Rp 200.000,00 untuk
perjalanan menuju Kawah Bromo. Akupun
berinisiatif menawar untuk melakukan perjalanan lebih jauh, selain ke Kawah
Bromo juga ke Bukit Teletubies, Padang Savana
dan Pasir Berbisik. Akhirnya disepakati harga yang harus kukeluarkan Rp
350.000,00 untuk menyewa sebuah jeep dengan kapasitas 5 penumpang.
Sebelum berpindah kendaraan kami melanjutkan perjalanan
sejenak menuju Hotel Lava View, masih di Lingkungan Cemoro Lawang. Ternyata
kami harus melalui sebuah gerbang lagi yang kali ini mengaku sebagai Pengelola
Taman Wisata Bromo. Ketika aku protes dan menyatakan sudah membayar di gerbang
sebelumnya, mereka mengatakan bahwa di gerbang pertama itu retribusi daerah.
Akhirnya berpindahlah dua lembar uang kertas senilai Rp 70.000,00 ke tangan
mereka, padahal tarif yang dikenakan hanya Rp 62.500,00. Namun hingga
kepulangan kami, sisa uang kembalian tak kunjung didapat, dengan berbagai
alasan. Yah sudahlah, akhirnya aku
mengikhlaskan sambil setengah gondog.
Espass pinjaman kuparkir di halaman Hotel dan kami segera
berpindah ke jeep yang dikendarai oleh Pak Besek, sang supir yang menawari kami
di gerbang pertama tadi.
----------------------------------
Petualangan dimulai...
Kabin jeep yang pas untuk empat penumpang duduk berhadapan |
Jeep mulai melewati pembatas kawasan kawah Bromo, tak lama
kemudian memasuki area parkir. Hanya ada lima jeep yang terparkir, barangkali
pengunjung sudah pada kembali ke penginapan setelah semalaman begadang di
Penanjakan lanjut ba’da subuh langsung ke kawah Bromo.
Beberapa tukang kuda tunggang mendekati kami dan menawarkan jasa membawa kami mendekati kawah dengan menunggang kuda, biaya yang diminta Rp 75.000,00 pulang pergi. Kami sudah berniat melakukan petualangan, maka dengan sopan kami tolak tawaran menarik itu. Pia bahkan berkata "aku harus sanggup sampai atas!" dan Haqipun dengan penuh semangat mendahului kami mencapai kawah.
Para penunggang kuda di Bromo |
Kala badai pasir menyerang |
Jalur pendakian menuju anak tangga |
Mejeng sejenak dengan latar belakang Gunung Batok |
Di kejauhan (kanan atas), tampak deretan anak tangga menuju Kawah Bromo |
Upacara "buang sajen" |
Aneka penganan sebagai sajen |
Kawah Bromo, sayang banyak sampah |
jejeran anak tangga menuju kawah Bromo |
Sebenarnya, jalur pendakian ke kawah Bromo tidaklah sulit,
setelah melewati lautan pasir, perjalanan mulai mendaki hingga akhirnya
mencapai anak tangga terbawah. Entah ada berapa anak tangga yang harus dilalui
untuk mencapai puncaknya, namun jumlahnya jauh lebih sedikit daripada anak
tangga yang harus dilalui jika mendekati kawah gunung Galunggung di
Tasikmalaya-Jawa Barat.
Sekitar satu jam kami berdiam diri di sana, sebelum akhirnya
memutuskan untuk kembali ke jeep dan melanjutkan petualangan menuju destinasi
berikutnya.
Melihat kami dari kejauhan, pak Besek pun buru-buru
menyalakan kendaraannya dan mendekati kami. Alhamdulillah, kali ini kami tak
perlu berjalan terlalu jauh lagi.
Perjalanan membelah lautan pasir kembali, kali ini menuju
Padang Savana dan Bukit Teletubies. Sayang, musim kemarau berkepanjangan
menyebabkan bukit yang seyogyanya ditutupi rerumputan nan hijau membentang bak
film kartun teletubies itu, kini terlihat merangas kecoklatan mendambakan hujan
yang tak kunjung tiba.
Padang Savana |
katanya sih, dikejauhan itu Bukit Teletabies :) |
Mejeng sejenak pakai jeep pak Besek |
Aku jadi teringat film “5 cm” yang pernah kami tonton
beberapa tahun yang lalu. Walaupun dari sudut cerita benar-benar tak masuk akal
menurutku, karena konon ceritanya ada lima sahabat berhasil menaklukkan puncak gunung
Semeru tanpa persiapan fisik terlebih dahulu. Tapi ah sudahlah, namanya juga
film, yang penting sudut-sudut pengambilan gambarnya sudah mewakili keindahan Mahameru,
bagiku cukup layaklah untuk disaksikan.
Kembali ke destinasi Pasir Berbisik, entah kenapa tempat ini
dinamakan demikian, pak Besek tak mampu menjawab dengan memuaskan. Barangkali
karena lokasi ini pernah jadi tempat
shooting film “Pasir Berbisik” yang menjadi Film Terbaik pada Festival Film
Indonesia 2004 atau karena jika kita diam dalam hening sejenak, maka akan
terdengar suara pasir yang seolah berbisik saat tertiup angin. Tapi pada
kenyataannya, aku justru mampu mendengarkan suara orang yang ada di pinggiran
tebing gunung serta suara burung yang berkicau di kejauhan, daripada mendengar
desisan pasir membisikkan sesuatu.
Kala kutanya Pia yang sibuk nungging berusaha untuk mendengarkan suara pasir, rupanya tetap tak dapat didengarkan. Ah,
barangkali telinga kami atau bahkan “rasa” kami yang kurang sensitif
mendengarkan panggilan alam.
Seikat Bunga Abadi... |
----------------------------------
Usai mengunjungi Pasir Berbisik kami kembali ke pelataran
parkir hotel untuk berganti kendaraan. Sebelum pulang, aku sempat diserang
ketakutan kembali, entah kenapa firasatku tiba-tiba tak enak. Ternyata benar,
mobil sesaat tak dapat distater. Kucoba menenangkan pikiran dan terus
memanjatkan do’a serta mohon pengampunan Allah. Alhamdulillah, setelah beberapa
kali mencoba, akhirnya mesin menyala dan
aku tak berani mematikannya hingga kami sampai ke kota Probolinggo kembali.
Kami mengambil jalur yang sama, karena aku benar-benar kuatir
dengan kondisi mobil yang kurang prima. Sempat merasa agak tersesat serta
hampir memutuskan balik arah, ternyata kami berada di jalur jalan yang benar.
Alhamdulillah, tak sampai satu jam gerbang kota Probolinggo tampak di kejauhan.
Selepas Probolinggo, kami menuju Pasuruan. Di Pasuruan, si
Mas berniat melanjutkan silaturahim ke teman Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di
kota ini. Sebelum menuju rumahnya, sejenak kami beristirahat, menunaikan sholat
dzuhur jama’ashar serta mengisi perut dengan semangkuk nasi soto ayam di pinggiran
Masjid Al Kautsar, Pasuruan.
Aku sempat kagum pada pemilik warung soto ini, selain jualan
soto mereka juga jualan bakso dan es cincau.Ternyata mereka adalah pasangan
(entah suami-istri atau kakak-adik) tuna rungu! Ya, kami berkomunikasi melalui
bahasa isyarat dan membaca gerakan bibir. Cukup banyak pembeli yang berkunjung,
walaupun sekedar memesan untuk dibawa pulang.
Selain rasa baksonya memang cukup enak, lokasinyapun strategis di
pinggir jalan raya serta di depan gerbang masjid terkenal.
Sengaja kami memilih menikmati kuliner pinggir jalan, selain
menghemat waktu untuk memesannya, yang paling penting menghemat pengeluaran.
Untuk dua mangkuk nasi-soto, tiga mangkuk bakso bakwan serta lima gelas es
cincau, aku hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 67.000,-. Benar-benar menu
yang mumer alias murah meriah.
Sebelum mampir ke teman SPG si Mas, kami harus ngedrop si
Amir di Terminal Bis Untung Suropati Pasuruan. Amir akan menuju Surabaya karena
dia sudah ada janji dengan teman-teman Railfans di Surabaya. Begitulah si Amir,
komitmennya memang sangat tinggi.
Di rumah mbak Nurjanah, teman SPG si Mas yang kini menjadi guru di sebuah SMK di
Pasuruan kami disambut sangat baik. Sudah hampir 30 tahun tidak ketemu. Kami
berdiskusi banyak hal, tentang keluarga, tentang pengalaman hidup, dsb.
Menjelang isya’ kami mohon pamit. Kami pulang melewati rute
Bangil lagi. Pia berkeras untuk mengambil kaos kakinya yang ketinggalan di
rumah Mak Kah di Watulunyu. Ketika solat dzuhur di musholah samping rumah Mak
Kah kemarin, tanpa sadar kaos kaki Pia ternyata ketinggalan. Pia sadar kaos
kakinya ketinggalan ketika berada di rumah Mbak Ani di Probolinggo. Beruntung
Mak Kah telah mengamankan kaos kaki kesayangan Pia. Perjalanan dilanjutkan dengan
mengembalikan mobil kepada si empunya, Mas Santoso. Kami ditraktir makan ayam
bakar di rumahnya. Masya Allah, sudah dipinjemi mobil, dijamu makan malam nan
maknyus, eh masih diantar pulang lagi. Makasih banyak, mas Santoso. Semoga
Allah membalas semua kebaikan mas sekeluarga. Aamiin.
----------------------------------
Tak terasa, hari semakin larut. Petualangan dua hari ini
kami akhiri dengan sangat indah. Tak henti puji syukur kupanjatkan ke
hadirat-Mu ya Allah. Semua urusan dilancarkan dan dimudahkan. Alhamdulillah.
Sebelum memejamkan mata, dalam do’a jelang tidur terselip
sebuah permintaan, kelak aku akan kembali mengunjungi Bromo, kali ini ke Penanjakan,
melalui jalur yang berbeda dengan tantangan yang lebih menarik tentunya...
Semoga do’aku dikabulkan, entah kapan.. aamiin...
----------------------------------
RaDal, 15’09’15 (23’13)
*ini cerita sebelumnya yaa...
* Nah, ini cerita lanjutannya...
#turiskere
#ngebolang
#backpacker
#familybackpacker
#bromo
#wisatadibromo
#destinasidikotaprobolinggo
*ini cerita sebelumnya yaa...
* Nah, ini cerita lanjutannya...
#turiskere
#ngebolang
#backpacker
#familybackpacker
#bromo
#wisatadibromo
#destinasidikotaprobolinggo
5 komentar:
Aah sedih deh kalo tempat keren trus banyak sampahnya. Mengapa oh mengapa? *gemesdankesell*
Itu sampah bekas upacara "kasodo" beberapa hari sebelumnya...
Berdebuu gitu ternyata ya mb bromonitu, aku suka pnasaran ama isi kawahnya
Haduh, mupeng banget deh. Mau ke sini gk jadi jadi melulu, huhu
@mb Gutyanita: pas kami datang sedang ada badai pasir. Badannya jadi penuh pasir deh hingga ke dalam-dalam. Pasirnya super halus dan kebawa pulang. hehe
@mb Istiana: Hayuk direncanakan. kemarin saya juga semi maksa ke sananya. :)
Posting Komentar