RSS

PRAMUDYA...part 1


“Sudah terima emailku??”

Tiba-tiba BB-ku menampilkan pesan singkatnya. “Hah, tumben dia BBM aku…ada apa gerangan?”, pikirku sepintas, sebelum akhirnya kubalas BBM-nya “Lom sempet. Aya naon??”

“Pengajuan aplikasi beasiswa buat mahasiswa UGM, anaknya penjual martabak”, balasnya.

“Ok. Insya Allah, ntar kulihat”, tulisku dan langsung ku pencet tombol enter…

“Tolong usahakan disetujui yaa…”, pintanya kembali

“Iya, sabar…do’akan saja si anak memenuhi syarat pengajuan beasiswa.  Lagian kamu ngajuinnya mahasiswa sih, kemaren kan aku bilang buat anak SD/SMP”, timpalku

“Yah…namanya juga usaha ”, balasnya.

Aaah…percakapan yang sangat singkat, namun sempat menggetarkan hatiku walaupun isinya serba formal.  Yaa…dialah my firstlove berpuluh-puluh tahun yang lalu dan karena kecanggihan teknologilah, yang mempertemukan kami kembali.

Pramudya, namanya. Temanku di kelas 1 SMP. Kami sempat terlibat cinta bebek monyet, saling mengagumi dan bersaing namun tak pernah terungkapkan, begitulah dinamika cinta ala ABG kala itu. 

Duapuluh lima tahun kemudian, melalui percakapan ringan di yahoo messenger, terungkaplah semua cerita terpendam.  Kupikir selama ini hanya aku yang selalu terbayang-bayang akan dirinya, ternyata diapun masih menyimpan secara rinci memori masa lalu kami…

“Aku ingat…”, tulisnya kala kami chatting, “Dulu omku pernah bilang, waktu dia ambil raporku, wali kelas kita bilang gini “sepertinya ponakan bapak tertarik dengan teman sekelasnya””…

Deg!! Jantungku serasa terhenti.

“Dan…aku juga ingat, yang dimaksud teman sekelasku itu ya kamu!”, tulisnya lagi, “Si hitam manis, yang pintar”

“Tapi, waktu itu, kamu emang ada perhatian kan padaku”, lanjutku, penasaran.

“Yah ada, kalo enggak mana aku ingat cerita om-ku itu”, timpalnya.

“Tapi, kenapa kamu enggak nembak aku?”, kejarku lagi.

“Aku minder. Kamu kan anak pejabat dan keturunan ningrat pula”, ujarnya polos.

“Ya ampuuun… yang pejabat dan ningrat kan orangtuaku, sedang aku gadis biasa aja”, protesku

“Iya, tapi mbahku orang gunung dan aku hanya konsultan…kongkonane (suruhannya) sultan alias raden, kamu kan radennya”, kilahnya.

“Waduh…jaman sudah canggih begini, kamu koq ngomong kayak gitu. Feodal banget yaa??”, protesku

“Ah, gak juga”, balesnya cepat, “Ayah selalu mengajarkan kami demokrasi. Setiap pendapat kami di dengar dan ditampung.  Hingga kini kebiasaan itu kami pelihara terus di keluarga kami masing-masing”.

“Wah...bener-bener luar biasa keluarga kalian”, pujiku.  “Oya, kalo gak salah ayahmu namanya Rahardjo, ya?”

“Iya, Rahardho Sumitro, beliau sudah meninggal lima tahun yang lalu dan warisan terbesar beliau adalah pesantren di desa kami, di gunung, ingat kami orang gunung”, tulisnya panjang lebar.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, balasku, “Maaf ya, kalo aku sudah membuat kamu sedih”

“Gak pa pa”, timpalnya, “Ibuku menangis waktu peresmian pesantren itu dua tahun yang lalu. Beliau teringat betapa ayah dahulu sangat bersemangat untuk mendirikan pesantren itu yang akhirnya terealisasi di saat ayah telah tiada”

Haru biru hatiku, membaca baris demi baris curhatnya.  Tiba-tiba pikiranku melayang jauh menembus batas waktu, di saat kami masih sama-sama remaja ingusan.  Aku pernah berkunjung ke rumahnya, untuk menjenguknya yang sedang dalam tahap pemulihan setelah menjalani operasi usus buntu. 

Kala itu aku sempat bertemu dengan seorang lelaki bersahaja, namun memancarkan wibawa yang sangat. Yaa…beliaulah Rahardjo Sumitro, ayahanda Pramudya.  Pak Rahardjo seorang pejabat di wilayahnya, walaupun hanya setingkat Ketua RW, namun beliau dikenal luas oleh seluruh warganya sebagai seorang ketua RW yang penuh tanggungjawab dan berdedikasi untuk memajukan wilayah kekuasaannya, yang kala itu merupakan sebuah kompleks pemukiman baru.

“Kini, kami anak-anaknya berjuang keras bahu membahu meneruskan cita-cita ayah kami, menjadikan pesantren sebagai wadah bagi anak-anak sekitar untuk meraih pengharapan yang lebih baik dari orangtua mereka”, sambungnya kembali, memutuskan lamunan sesaatku.

Pramudya…kamu gak pernah berubah, selalu idealis dari dulu hingga sekarang, bibit-bibit kekagumanku kembali menyeruak…menggugah rasa itu, rasa yang telah berpuluh-puluh tahun terpendam, namun senantiasa  muncul di mimpi-mimpiku.

“Terimakasih, kamu udah mau mendengar ceritaku.  Maaf kalo sampai mengganggu. Udahan dulu ya, aku mau meeting dengan yang Maha Kuasa”, tulisnya kembali “Tuh udah dipanggil.  Salam”

Aah…cara pamitnya yang sangat khas… Aura kealimannya memancar semakin kuat, seiring dengan bertambahnya usia.  Pramudya…kamu gak pernah berubah, tetap alim dari dahulu hingga sekarang…

Depok-11'11'11


0 komentar:

Posting Komentar